PALU,Rajawalipost.com – Lebih dari 20 lembaga kemanusiaan bersama Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menyelenggarakan pelatihan teknik rekonstruksi bangunan dengan tema “Ibu Pelopor Rekonstruksi”.
Target awal kegiatan ini adalah 150 ibu-ibu yang terdampak bencana di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan kabupaten Donggala yang dimulai pada bulan Desember ini.
“Kegiatan ini adalah inisiasi awal dengan harapan lembaga kemanusiaan lainnya turut mendorong pelatihan untuk ibu-ibu, ” ujar Ridwan Mumu, Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulteng.
Pada masa pemulihan bencana, pemerintah bersama masyarakat sedang melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap ratusan ribu rumah yang terdampak bencana pada September tahun lalu.
Namun, karakteristik ancaman bencana di Sulteng adalah ancaman yang mungkin berulang kembali di masa yang akan datang.
“Sebetulnya yang kita kejar adalah Build Back Safer, namun cukup mengkhawatirkan karena ada kecenderungan saat ini masyarakat yang penting dapat uang untuk menyelesaikan rumahnya namun kurang memperhatikan aspek keamanan, ” ujar Arwin Soelaksono dari Koordinator Sub Klaster Shelter Sulawesi Tengah dari Federasi Palang Merah Internasional (IFRC).
Oleh karena itu, kata dia, penting untuk diperhatikan bahwa proses pembangunan kembali, perbaikan, dan penguatan rumah memperhatikan teknik membangun kembali lebih aman.
” Dan memastikan lokasi dan struktur bangunan yang dihuni aman terhadap ancaman bencana yang ada, baik itu ancaman dari gempa, tsunami, likuefaksi, tanah longsor, maupun banjir,” katanya.
Dia mengatakan, umumnya proses rekonstruksi pascabencana akan membutuhkan waktu yang panjang, karena warga membangun kembali rumahnya dengan sumber daya yang ada dan kemudian perlahan-lahan mengembangkan huniannya disaat mereka mendapatkan dana tambahan.
Oleh karena itu, katanya, penting agar masyarakat bisa terlibat aktif dalam proses pembangunan, termasuk pula kelompok perempuan.
” Keterlibatan masyarakat termasuk dalam penentuan desain rumah, pemilihan bahan bangunan yang berkualitas, serta melakukan pengawasan pekerjaan konstruksi untuk kualitas yang lebih baik, ” ujarnya.
Ia mengatakan, dari pelatihan terkait proses rekonstruksi ini ada dua hal yang diharapkan, pertama adalah mempercepat proses rekonstruksi dimana inisiatif untuk mulai pembangunan dan pemilihan desain dapat mengikutsertakan kaum perempuan, mengingat kaum perempuan umumnya menghabiskan waktu lebih lama di rumah.
Kedua, perempuan dapat dengan percaya diri melakukan pengelolaan pembangunan termasuk pengaturan tukang karena paham teknik membangun sehingga rumah yang lebih aman dan lebih nyaman dapat dicapai.
“Permasalahan shelter termasuk pemulihan hunian umumnya adalah masalah sosial sehingga perlu pendekatan yang tepat untuk memastikan keterlibatan seluruh unsur masyarakat untuk mendukung pemulihan mandiri,” kata Iyan Kusmadiyana, Focal Point Sub Klaster Shelter dari Kementerian Sosial.
Dia mengatakan, dengan pendekatan ini, diharapkan proses rekonstruksi hunian yang terdampak bencana dapat berjalan dengan lancar dan efektif untuk mewujudkan hunian yang aman, nyaman, dan bermartabat. [MM/ikr]