Oleh: Wartiman
JAKARTA,Rajawalipost – Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI menjual aset BLBI PT Bank Harapan Sentosa milik ex Terpidana Hendra Rahardja (berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 125/Pid.b/2002/PT.DKI, tanggal 08 November 2002) berupa 11 (sebelas) Sertipikat HGB yang semuanya atas nama PT DUTA CAHAYA INDOSAKTI atas ijin Jaksa Agung RI melalui prosedur lelang yang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Serang (KPKNL Serang) pada bulan Maret 2018.
Pelelangan yang diselenggarakan oleh KPKNL Serang tersebut diikuti oleh 3 peserta yang terdiri dari: PT. Wana Mekar Kharisma Properti dengan harga penawaran sebesar Rp. 28.000.000.000,00; Edwin Chandra dengan harga penawaran sebesar Rp. 24.173.888.000,00; Sugiarto dengan harga penawaran sebesar Rp. 22.000.888.888,00; dengan system electronic closed bidding dan diakses melalui url: www.lelangdjkn.kemenkeu.go.id. Pelelangan tersebut dimenangkan oleh PT Wana Mekar Kharisma Properti (PT. WMKP) berdasarkan Kutipan Risalah lelang No 163/22/2018, tanggal 16 April 2018, selanjutnya setelah PT WMKP memperoleh kutipan risalah lelang dari KPKNL Serang, namun pihak penjual dalam hal ini PPA Kejaksaan Agung RI tidak memberikan hak pemenang lelang berupa 11 Sertipikat obyek lelang sehingga oleh karena itu PT WMKP sebagai pihak pemenang lelang mengajukan permohonan Fiktif Positif ke Pengadilan TUN Jakarta dan telah diputus berdasarkan putusan pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No 14/P/FP/2018/PTUN.JKT tertanggal 06 Agustus 2018 yang telah berkekuatan hukum tetap dimana amar putusannya pada pokoknya: mewajibkan Jaksa Agung RI untuk membuka blokir dan menyerahkan seluruh dokumen sertifikat tanah asli berupa 11 sertipikat berikut segala sesuatu diatasnya kepada PT WMKP.
Jaksa Agung Cq PPA hingga saat ini tidak menyerahkan 11 sertipikat obyek lelang kepada PT WMKP yang merupakan hak pemenang lelang dan juga tidak patuh terhadap putusan pengadilan TUN Jakarta yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga perbuatan-perbuatan Jaksa Agung Cq PPA tersebut telah merugikan dan melanggar hak-hak dasar warga masyarakat selaku pemenang lelang, tindakan Jaksa Agung Cq PPA tersebut juga merupakan tindakan pembangkangan terhadap Lembaga peradilan (contempt of court) dan telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum sebagai berikut:
Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai berikut:
“Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
- Tanpa dasar kewenangan; dan/atau
- Bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”
Pasal 84 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal Penjual tidak menyerahkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) kepada Pejabat Lelang, Penjual harus menyerahkan asli dokumen kepemilikan dan/atau barang yang dilelang kepada Pembeli paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Pembeli menunjukkan kuitansi dan tanda bukti pelunasan pembayaran dan menyerahkan bukti setor BPHTB jika barang yang dilelang berupa tanah dan bangunan.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum tersebut di atas, tidak ada alasan hukum apapun bagi Jaksa Agung Cq PPA untuk tidak memberikan HAK PT WMKP sebagai pemenang lelang dan tidak ada alasan hukum yang dapat untuk tidak patuh terhadap putusan PTUN Jakarta yang telah berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya PT WMKP berdasarkan Kutipan Risalah lelang mengajukan permohonan hak baru atas tanah kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Serang yaitu permohonan penerbitan sertipikat baru terhadap 11 sertipikat obyek lelang tersebut, namun sampai dengan saat ini permohonan tersebut tidak membuahkan hasil akibat tindakan Jaksa Agung Cq PPA yang menghalang-halangi terkabulnya permohonan PT WMKP tersebut, padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, pemindahan hak atas tanah salah satunya dapat dilakukan dengan lelang, sehingga pihak pemenang lelang dapat mengajukan permohonan hak baru atas tanah dimaksud dengan melampirkan risalah lelang sebagai dasar permohonan hak atas tanahnya, hal ini tercantum dalam Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:
“Peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang.”
Dan juga Pasal 18 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. 002/A/JA/05/2017 tentang Pelelangan dan Penjualan Langsung Benda Sitaan atau Barang Rampasan Negara atau benda Sita Eksekusi yang mengatur sebagai berikut:
“Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang pada Kantor Lelang Negara, merupakan dasar bagi pemenang lelang untuk mengajukan penerbitan Sertifikat baru atau duplikat sertifikat tanah atau bangunan.”
Penegakan hukum dalam proses lelang seharusnya ditegakkan secara konsisten karena peraturan perundang-undangan telah jelas, tegas, dan mengatur secara ketat dan terukur mengenai penyelenggaraan lelang khususnya mengenai penyerahan obyek lelang kepada pemenang lelang yaitu paling lambat 1 hari setelah pemenang lelang memenuhi seluruh kewajiban lelang namun ironisnya Jaksa Agung Cq PPA sebagai Penjual Lelang yang juga merupakan instansi penegak hukum tidak taat pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lelang tersebut sehingga hal ini merampas rasa keadilan pemenang lelang sebagai bagian dari warga masyarakat Perbuatan Jaksa Agung Cq PPA telah melanggar prinsip dasar bernegara yaitu tidak melindungi segenap bangsa Indonesia serta secara sadar atau sengaja menghambat kemajuan perekonomian nasional yang diupayakan oleh PT WMKP selaku pemenang lelang atas 11 sertipikat obyek lelang.*