PALU, Rajawalipost – Hari kedua pergelaran seni budaya bertajuk Revitalisasi budaya yang diinisiasi LSB Bantaya Sulteng, semakin menarik ditonton. Bahkan, sedikit memaksa kita untuk mengerutkan dahi memaknai konotasi bunyi musik dan gerak tari pemainnya. Tengok saja performance awal pertunjukan musik Nashir Umar and friend bertajuk Lokacanggore. Komposisi musik gitar akustik dipadu Lolove dan gendang serta alat musik Gamaru, membawa kita ke alam bawah sadar seakan ingin menyampaikan pesan bahwa ada perempuan-perempuan tangguh berjalan tegak dan tanpa banyak bicara menjajakan kacang dan pisang di pinggir jalan-jalan kota. Musik Nashir Umar and friend adalah resonansi rindu sekaligus amarah. Musiknya mengalir seperti mengisyaratkan langkah panjang perempuan penjual kacang dan pisang yang tidak memilih menawarkan jajanannya tapi terus berjalan diam dan terus melangkah.
Begitupun dengan teaterikal sastra seorang Emhan Saja. Apik, penuh amarah karena ia ingin menyampaikan pesan bahwa: Disinilah tempat seniman merdeka. Yach, Emhan Saja memilih mengekspresikan amarahnya dalam satu puisi berjudul Deklarasi seniman Merdeka karya Jamaluddin Mariadjang. Panggung ditutup dengan kain merah, membentuk gelombang dan ia berdiri di tengah sambil berujar: Mereka seperti orang tak berdosa, menggotong karya seniman, terperosok di dalam lubang sampah.
Tak kalah menarik performance Faisal Ali Rasyid, S.Sn. Jebolan IKJ ini memilih sastra tutur berkisah Notutura Randa Ntovea. Ia memainkan beberapa peran, mengganti setting/property di setiap pergantian peran. Monolognya mampu membawa penonton mengikuti alur cerita.
Sebagai puncak pertunjukan malam itu, hadir pertunjukan tari modern kolaborasi Fathuddin Mujahid dan LSB Bantaya. Mengambil tema tari Hitam Putih, Fathuddin Mujahid berhasil menghadirkan komposisi gerak tari yang dinamis dan kekinian. Ada lentik jemari dan hentakan kaki-kaki penari tapi dibalik itu tersimpan amarah kematian yang divisualkan dengan lilitan kain hitam putih memenuhi sekujur tubuh penarinya.
Pergelaran seni budaya di auditorium Dikjar Sulteng, Rabu (30/11/2022) akhirnya ditutup oleh Kabid kebudayaan Dikjar Sulteng, Dr. Rahman Anshari. (Naf)